RESUME PEMBAGIAN HARTA WARISAN


RESUME PEMBAGIAN HARTA WARISAN

Semua kaum Muslim sepakat bahwa sebab-sebab waris-mewarisi ada tiga, yaitu:
1.    rahim (nasab);
2.    pernikahan;
3.      perwalian (wala’).

Para imam mazhab sepakat bahwa sebab-sebab yang menghalangi waris mewarisi ada tiga, yaitu:
1.      perbudakan (riqq);
2.    pembunuhan;
3.    berlainan agama.

Para Nabi a.s. tidak diambil waris darinya oleh anak-anaknya. Harta mereka disedekahkan dan dibelanjakan untuk kemaslahatan kaum Muslim. Tidak ada yang menyalahi pendapat ini kecuali mazhab Syi’ah.
Para imam mazhab sepakat bahwa ahli waris dari kalangan laki-­laki adalah sepuluh, yaitu:
1.    anak laki-laki;
2.    anak (cucu laki-laki dari anak laki-laki) terus ke bawah;
3.    ayah;
4.    ayahnya ayah (kakek) terus keatas;
5.    saudara laki-laki;
6.    anak laki-laki,kecuali dari saudara seibu ;
7.    saudara ayah (paman);
8.      anak laki-laki saudara ayah (anak paman);
9.      suami
10.  budak laki-laki yang climerdekakan (mu’tiq).

Sedangkan dari kalangan perempuan ada tujuh, yaitu:

1.      anak perernpuan;
2.      Cucu perempuan dari anak laki-laki terus ke bawah;
3.      ibu;
4.      nenek;
5.      saudara perempuan;
6.      istri;
7.      budak perempuan yang dimerdekakan (mu'tiqah).

Para imam mazhab sepakat atas bagian-bagian yang ditentukan dalam Kitab Allah azza. wajalla ada enam, yaitu:  (nishf),  (rub'),  (tsumun).  (tsulutsan),  (tsulus) dan (sudus). Selain itu hanya berdasarkan ijma belaka.
Adapun, hal-hal yang diperselisihkan hukum waris antara lain ada­lab perwarisan dzawil arham, yakni orang-orang yang tidak mempunyai saham tertentu dalam al-Quran. Semuanya ada sepuluh golongan, yaitu: kakek dari pihak ibu. semua kakek dan kakek yang gugur (dari meneri­ma warisan), semua cucu dari pihak anak perempuan, anak-anak pe­rempuan dari saudara laki-laki, anak-anak dari saudara perempuan, anak-anak laki-laki dari saudara seibu, paman dari pihak ibu, anak-­anak perempuan dari paman, saudara-saudara perempuan ayah, dan saudara-saudara ibu beserta anak-anak perempuan mereka.
Menurut pendapat Maliki dan Syafi'i, mereka yang disebut tadi tidak mendapat warisan.
Harta orang mati yang hanya meninggalkan dzawil arham diberi­kan ke Baitul Mal (kas negara Islam). pendapat ini diterima dari Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman, Zaid', az-Zuhri, al-Awza'i, dan Dawud. Menurut pendapat Hanafi, dzawil arham berhak mendapatkan warisan. Pen­dapat ini diriwayatkan dari 'Ali, Ibn Mas'ud, dan Ibn 'Abbas. Hal itu ketika tidak ashhabu lfurudh. dan 'ashabah.
Sa'id bin al-Musayyab berpendapat bahwa saudara ibu menerima warisan bersama anak perernpuan. Menurut pendapat Maliki dan Syafi`i: Apabila seseorang mati meninggalkan ibu maka diambillah  pusaka untuk ibunya, dan sisanya diserahkan ke Baitul Mal. Atau , jika ia meninggalkan anak perempuan maka anak perempuan itu mendapat pusaka,-dan sisanya diberikan ke Baitul Mal. Sedangkan menurut pendapat Hanafi dan Hambali: Apabila seseorang mati meninggalkan ibu maka seluruh hartanya diberikan kepada ibu­nya, yaitu  dengan cara memberikan haknya yang sudah ditentukan kefarduannya dalam al-Quran dan yang lainnya dengan cara me­ngembalikan harta kepadanya (radd). Demikian juga jika yang diting­galkannya hanya seorang anak perempuan, maka anak perempuan itu mendapatkan semua harta, yaitu  diperoleh dengan jalan ke­tentuan al-Quran, dan sisanya diperoleh dengan jalan radd.
Al-Qadhi Abdul Wahhab al-Maliki mengambil riwayat dari asy­Syaikh Abu al-Hasan bahwa pendapat yang sahih dari 'Utsman, Ali, Ibn al-'Abbas, dan Ibn Mas'ud tidak memberikan warisan kepada dzawil arham. Mereka juga tidak memberikan radd kepada seseorang. Inilah yang diriwayatkan dari mereka tentang radd dan hukum waris dzawil arham, yaitu riwayat yang berupa perbuatan dan perkataan.
Ibn Khuzaimah dan para ulama lain mengakui adanya ijma dalam masalah ini.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang Muslim tidak boleh me­warisi dari orang kafir, demikian pula sebaliknya. Diriwayatkan dari Mu'adz, Ibn al-Musayyab, dan an-Nakha'i bahwa orang Islam boleh mewarisi dari orang kafir, tetapi tidak sebaliknya, sebagaimana bolehnya orang Islam mengawini perempuan kafir dan tidak boleh perempuan Islam dinikahi oleh laki-laki kafir.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang harta orang murtad yang mati lantaran dihukum bunuh atau mati dalam kemurtadannya. Dalam masalah ini, terdapat tiga pendapat para ulama sebagai berikut.
1.       semua harta yang diperoleh selama dalam keislamannya diserahkan ke Baitul Mal. Dernikian menurut pendapat. Maliki, Syafi'i dan Hambali.
2.       harta yang diperoleh dalam keislamannya diwarisi oleh orang Islam, sedangkan hartanya yang diusahakan dalam masa kemurtadan­nya diserahkan ke Baitul Mal. Demikian pendapat Hanafi.
3.       semua hartanya diwarisi oleh orang Islam, baik diperoleh selama dalam keislamannya dan dalam masa kemurtadannya. Demiki­an ini pendapat Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang yang membunuh dengan sengaja serta aniaya terhadap orang yang mewarisinya tidak menerima warisan dari orang yang dibunuhnya. Namun para imam mazhab ber­beda pendapat jika terjadinya pembunuhan tersebut dengan tidak sengaja. Hanafi, Syafi'i, dan Hambali mengatakan: Tidak berhak waris - mewarisi. Maliki berpendapat: Berhak mendapatkan sebagian dari harta peninggalannya, tidak dari diyat-nya.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang waris-mewarisi sesama orang kafir. Menurut pendapat mazhab Maliki dan Hambali, mereka tidak waris-mewarisi jika mereka dari dua agama, seperrti yahudi dan Nashrani. Demikian pula, jika mereka beragama selain Yahudi dan Nashrani jika agarna mereka saling berbeda. Hanafi dan Syafi'i me­ngatakan: jika agarna mereka sama maka mereka adalah kafir yang berhak mewarisi sebagian atas sebagian yang lain. Orang yang tenggelam, terbunuh, mati tertimpa bangunan, mati terbakar, atau mati karena terserang penyakit Tha’un (kolera), jika tidak diketahui siapa di antara mereka yang lebih dahulu atau kemudian matinya maka sebagian mereka tidak berhak mewarisi atas sebagian yang lain. Harta peninggalan masing-masing dari mereka diberikan kepada ahli waris mereka yang masih ada. Demikian menurut kesepa­katan pendapat para imam mazhab, kecuali satu riwayat dari Ham­bali. Sedangkan menurut pendapatAli-r.a., Syuraih, asy-Sya'bi, dan an­Nakha'i adalah bahwa masing-masing dari mereka mewarisi terhadap harta-harta yang diperolah oleh masing-masing. Bukan mernpusakai harta lama, tetapi harta yang diperoleh dari pewaris yang lain.
Orang yang separuh merdeka dan separuh lagi budak tidak me­warisi dan tidak memberi waris. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi`i, dan Hambali.
Hambali, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan dan al-Muzani me­ngatakan: Mereka waris mewarisi menurut kadar kemerdekaannya.
Para imam mazhab sepakat bahwa orang kafir, orang murtad, pem­bunuh dengan sengaja dan orang yang tidak jelas keadaan masa ke­matiannya tidak menghijab orang lain. Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud bahwa orang kafir, budak, pembunuh dengan sengaja dapat menghijab orang lain, tetapi mereka tidak mewarisi.
Saudara-saudara jika mereka menghijab ibu (dari  bagian) ke  bagian, maka ia tidak boleh mengambil warisan. Demikian menurut kesepakatan pendapat Para imam mazhab. Diriwayat­kan dari Ibn ‘Abbas bahwa saudara-suadara tersebut mewarisi ber­sama ayah jika mereka menghijab ibu. Oleh sebab itu, mereka meng­ambil kadar yang menghijabnya itu. Adapun, yang masyhur dari Ibn al-Abbas r.a. adalah bahwa semuanya sama.
Nenek, yaitu ibu dari ayah, tidak mewarisi jika ada ayah, yaitu anaknya. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi`i. Se­dangkan menurut pendapat Hambali: Nenek bersama ayah memper­oleh seperenam bagian jika ia sendiri atau menyekutui ibu jika masih ada.
Dua saudara menghijab ibu dari  bagian ke  bagian. Demikian menurut ijma’ Para imam mazhab. Diriwayatkan dari Ibn al-Abbas bahwa ibu bersama kedua orang saudara mengambil  hingga para saudara itu tiga orang. jika saudara itu berjumlah tiga orang maka ibu mendapat,  bagian.
lbu dalam masalah seorang suami, dua ayah-ibu, atau istri dan dua ayah-ibu mendapat  bagian yang tersisa, sesudah suami atau, istri mengambil bagiannya. Demikian menurut pendapat seluruh ulama Ali fiqih kecuali menurut pendapat Ibn al-'Abbas yang menyatakan bahwa dalam kedua masalah ini, ibu mendapat  bagian dari seluruh harta.
Pendapat Ibn al-Abbas tersebut sama dengan pendapat Syuraih, dan sesuai dengan pendapat IbnSirin dalam masalah seorang istri dan ayah ibu, tetapi tidak sesuai dengan pendapatnya, dalam masalah se­orang suami dan ayah ibu.
Adapun, dua anak perempuan ke atas mendapat bagian. Demikian menurut pendapat seluruh ulama ahli Fiqih kecuali penda­pat Ibn al-'Abbas yang menyatakan bahwa dua anak perempuan mendapat  bagian seperti satu orang, dan untuk tiga orang ke atas mendapat  bagian.
Diriwayatkan bahwa Ibn al-Abbas berpendapat seperti pendapat jamaah ulama Ali fiqih di atas.
Apabila anak-anak perempuan mengambil bagian penuh maka cucu perempuan dari anak laki-laki tidak mendapat apa­-apa, kecuali jika ia bersama anak laki-laki yang sederajat atau lebih rendah dari mereka. Jika demikian keadaannya maka mereka menerima dengan cara 'ashabah, yaitu sisa antara dia dan orang yang lebih tinggi dan orang yang sederajat dengan mereka, dengan pembagiannya adalah laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan. Demikian menurut pendapat seluruh ulama ahli fiqih.
Diriwayatkan dari Ibn Masud bahwa sisanya diberikan kepada anak laki-laki dari anak ibu, bukan anak ayah.
Menurut pendapat semua ulama ahli fiqih, saudara-saudara pe­rempuan bersama dengan anak perempuan mendapat lashobah. Diri­wayatkan dari Ibn al Abbas bahwa mereka tidak menjadi 'ashabah, bahkan tidak mewarisi bersama anak perempuan.
Masalah yang paling terkenal dalam hukum waris adalah musyarakah, yaitu orang mati meninggalkan suami, ibu, dua saudara seibu, dan seorang sudara laki-laki sekandung. Para imam mazhab berbeda pen­dapat dalam masalah ini. Maliki dan Syafi`i berpendapat: Suami men­dapat  bagian, ibu mendapat  bagian, saudara-sau­dara seibu mendapat  bagian. Kemudian, saudara sekandung berserikat dengan dua saudara seibu dalam bagian tersebut yang mereka bagi bersama. Ini juga pendapat ‘Umar,'Usman, Ibn al-'Abbas, Ibn Mas'ud, Zaid, 'Aisyah, az-Zuhri dan Ibn al-Musayyab, dan segolongan jarnaah. Sedangkan menurut pendapat mazhab Hanafi dan para ulama pengikutnya, Hambali dan Dawud adalah  bagian untuk sau­dara seibu, clan saudara sekandung yang laki-laki menjadi gugur haknya. Ini juga pendapat Ali, Ibn al-'Abbas dan Ibn Mas'ud dalam salah satu riwayatnya.
Menurut pendapat seluruh ulama, bagian kakek dan nenek adalah .
Diriwayatkan dari Ibn al-Abbas bahwa nenek, yaitu ibunya ayah, mendapat  bagian jika sendirian. la menduduki kedudukan ibu. Diriwayatkan juga bahwa is berpendapat seperti pendapat seluruh ularna.
Menurut pendapat mazhab Maliki adalah bahwa para nenek itu tidak mewarisi, kecuali dua orang, yaitu ibunya ibu dan semua ibunya, dan ibunya ayah beserta semua ibunya.
Adapun, menurut pendapat mazhab Hanafi adalah bahwa ibunya ayah pun berhak mewarisi. Sedangkan Syafi'i mempunyai beberapa pendapat. Pertama, seperti pendapat Maliki. Kedua, seperti pendapat Hanafi. Inilah pendapat yang masyhur dan yang paling kuat dari maz­hab Syafi'i.
Nenek dari pihak ayah jika ia lebih dekat daripada nenek dari pihak ibu, maka ia berserikat dengan nenek dari pihak ibu dalam mendapat­kan  bagian, dan tidak menghijabnya. Demikian menurut mazhab Maliki, Syafi`i, Zaid dan Ibn Mas'ud. Hanafi berpendapat: Seperenam bagian untuk nenek dari pihak ayah jika ia lebih dekat dari­pada nenek dari pihak ibu.
Kakek menyekutui saudara-saudara, maka mereka mewarisi ber­samanya, dan tidak menghijabnya. Demikian menurut pendapat Ha­nafi, Maliki, Syafi`i dan Hambali. Diriwayatkan dari Abu Bakar, Ibn ‘Abbas, Aisyah' Ibn Zubair, Marwan, Mu'adz, Abu Musa dan Abu Darda, bahwa kakek menggugurkan hak para saudara.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai masalah akdariy­yah, yaitu jika seseorang yang mati meninggalkan suami, ibu, kakek dan saudara perempuan sekandung atau sebapak saja. Dalam hal ini, Maliki, Syafi`i dan Hambali mengatakan; Suami mendapat  bagian, ibu mendapat  bagian, saudara mendapat  bagian, dan kakek mendapat  bagian. Kemudian, kakek dan saudara perempuan terbagi menjadi tiga. Kakek mendapat  bagian dan saudara perempuan mendapat  bagian. Hanafi berpendapat: Ibu mendapat  bagian, suami mendapat  bagian, dan sisanya untuk kakek dan saudara perempuan yang gugur dari haknya.
Barangsiapa yang berkumpul padanya dua jalan untuk mengam­bil waris, maka diberikan kepadanya jalanyang lebih kuat. Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi`i. Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: Orang tersebut menerima warisan dengan dua jalan.
Apabila berkumpul dua anak paman (saudara ayah), yang salah seorang di antara mereka menjadi saudara seibu bagi orang yang mati, sisanya dibagi di antara keduanya dengan jalan 'ashabah. Demikian menurut kesepakatan para imam mazhab.
Diriwayatkan dari Ibn Masud, al-Hasan dan Abu Tsawr bahwa anak paman yang menjadi saudara itu lebih berhak mengambil harta warisan.
Seluruh ulama mengatakan bahwa warisan tidak dapat ditetapkan dengan jalan muwalah (bantu-membantu). Sedangkan menurut pen­dapat an-Nakha'i dapat ditetapkan dengan muwalah. Hanafi berpen­dapat: Muwalah dan akadnya harus dibatalkan selama belum halal.
Harta anak dari perempuan yang bersumpah li’an, menurut pen­dapat Hanafi, Seluruh hartanya dimiliki oleh ibunya, yaitu dengan dua jalan, jalan fardh dan jalan ‘ashabah. Maliki dan Syafi'i mengatakan dua riwayat. Pertama, 'ashabah anak itu adalah ‘ashabah ibunya. Dengan begitu jika ia mati meninggalkan ibu dan sau­dara laki-laki ibu maka ibu mendapat  bagian, sedangkan sisanya untuk saudara laki-laki ibunya. Kedua, ibunya menjadi 'ashabah, maka semua harta menjadi miliknya dengan jalan 'ashabah.
Menurut pendapat seluruh Ulama, ’aul itu dibenarkan dan diamal­kan. Apabila bagian-bagian itu melebihi saham peninggalan, maka dikurangilah bagian masing-masing dari mereka, yaitu menurut besar kecilnya hak mereka. Lalu, masalah itu di-aul-kan, kemudian dibagi menurut 'aul tersebut. Sesudah itu, diberikan kepada pemilik saham menurut kadar sahamnya dengan cara 'aul. Sebagaimana utang, jika melebihi jumlah harta peninggalan, maka dibagi peninggalan tersebut menurut bagian-bagiannya, dan masing-masing bagian dikurangi menurut kadar utangnya.
Sungguh telah terjadi ijma dalam masa pemerintahan 'Umar bin khatab r.a. atas yang demikian. Kernudian, Ibn al-'Abbas menya­lahi dan mengingkari ijma tersebut sesudah'Umar wafat. Ibn al-Abbas r.a. menyatakan bahwa `aul adalah batal. Kemudian, ditanyakan orang kepadanya, "Kenapa tuan tidak mengemukakannya kepada 'Umar" Ibn al-'Abbas menjawab, “Aku takut, sebab ia adalah orang yang di­takuti." Lalu, dikatakan kepadanya, "pendapat tuan beserta pendapat jamaah adalah lebih kami sukai daripada pendapat tuan sendiri."
Para imam mazhab sepakat bahwa aul hanya pada pokok-pokok masalah, yaitu tiga, enam, dua belas dan dua puluh enam.
Anak yang keguguran jika terdengar tangisan ketika lahirnya, maka tidak diberikan warisan dan tidak diambil waris darinya, meskipun ia bergerak dan bernapas kecuali jika agak lama ia bernapas atau sampai disusui. Denmikian menurut pendapat Maliki dan Hambali. Sedang jika ia bersin, maka menurut pendapat Maliki, ada dua riwayat. Hanafi dan Syafi`i mengatakan: jika ia bergerak, bernapas, atau bersin maka diberikan waris dan diambil warisan darinya.
Orang banci (khuntsa), yaitu seseorang yang memiliki kemaluan wanita dan kemaluan pria, musykil. Menurut pendapat Hanafi dalam satu riwayat yang masyhur: Apabila ia kencing dari zakarnya (kemalu­an laki-laki) maka ia dihukumi laki-laki, dan jika keluarnya dari farajnya (kemaluan wanita) maka ia dihukumi perempuan. Sedangkan jika keluar dari keduanya maka ditunggu tumbuhnya janggut atau menye­tubuhi perempuan. Jika demikian halnya, ia dihukumi sebagai laki­-laki. Atau jika ia mengeluarkan air susu, disetubuhi faraj-nya, atau haid maka ia dihukumi sebagai perempuan. jika semua itu tidak tampak sama sekali maka ia dihukumi musykil. Ia ditetapkan mendapatkan warisan dengan warisan yang diberikan kepada perempuan. Seperti ini juga pendapat Syafi'i. Namun, ia berbeda dengan Hanafi dalam mewarisinya. Menurut pendapat Syafi'i: Anak laki-laki mendapat bagian, sedangkan banci mendapat sepertiga bagian.  bagian sisanya dibekukan hingga jelas jenis kelamin banci itu atau berdamai. Maliki dan Hambali mengatakan: Ia diberi warisan menurut kelu­arnya air kencing.jika keluar kencing dari keduanya (faraj dan zakar) maka dilihatlah mana yang lebih dulu. jika bersamaan maka dilihat yang lebih banyak, kemudian warisan diberikan berdasarkan hal itu. Jika keadaannya tidak dapat dipastikan, misalnya seseorang mening­galkan seorang anak laki-laki dan seorang banci musykil, maka yang banci musykil diberi separuh bagian sebagai waris laki-laki dan separuh waris perempuan. Dengan demikian, anak laki-laki mendapat  bagian harta dan seperempatnya. sedangkan banci musykil men­dapat  bagian harta dan nya.
DIYAT
Para imam mazhab sepakat bahwa diyat seorang laki-laki Muslim lagi merdeka adalah 100 unta yang diambilkan dari harta Pembunuh de­ngan sengaja apabila is dilepaskan dari qisas pada pembayaran diyat.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah diyat tersebut boleh ditunda pembayarannya? Maliki, Syafi'i clan Hambali mengatakan: Harus segera dibayar. Hanafi berkata: Boleti ditunda hingga tiga tahun.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang diyat pembunuhan yang disengaja. Menurut pendapat Hanafi clan Hambali dalam salah satu riwayatnya: Unta-unta diyat tersebut dibagi empat bagian, masing­masing 25 ekor. Keempat bagian itu sebagai berikut.
1.      25 ekor bintu 7nakhad;
2.      25 ekor bintu Tabun;
3.      25 ekor hiqqah:
4.      25 ekor jadz'ah.
Syafi'i berkata: Diambilkan dari hiqqah sebanyak 30 ekor; dari jadzah sebanyak 30 ekor. Seperti ini juga pendapat lainnya dari Hambali.
Adapun, diyat pembunuhan setengah sengaja adalah sebagaimana diyat pembunuhan dengan sengaja. Demikian menurut pendapat Ha­mafi, Syafi'i dan Hambali. Sedangkan Maliki mempunyai beberapa riwayat yang berbeda­beda. Mengenai diyat pembunuhan yang tidak sengaja adalah 20 jadz'ah +20 hiqqah +20 bintulabun + 20 ibn makhad + 20 bintumakhad. Demiki­an menurut pendapat keempat imam mazhab. Namun, pendapat Maliki clan Syafi'i: Ilm inakhad diganti dengan ibn labun.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai dinar dan dirham, apakah keduanya boleh dijadikan diyat? Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: Boleti dijadikan sebagai diyat, walaupun ada unta, Sedang­kan menurut SyA'i: Unta tidak boleh diganti dengan yang lain jika ada unta, kecuali ada kesepakatan yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Adapun, jika unta tidak diperoleh maka Syafi'i mempunyai dua pendapat. Pertanta, qauI jadim& yang paling kuat adalah boleh diganti dengan harganya sesuai dengan harga ketika menerima diyat tersebut. Kedua, qaul (jadim yang menyatakan boleti diganti dengan 1000 dinar atau 12.000 dirham, dan hal ini dapat dilakukan jika memang terpaksa.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang besarnya diyat be­rupa dirham. Hanafi berkata: 10.000 dirham. Maliki, Syafi'i dan Ham­bali mengatakan: 12.000 dirham.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang sapi dan unta. Hanafi, Maliki, dan Syafi`i mengatakan: Hewan tersebut tidak boleh dipakai membayar diyat, kecuali ada kerdaan di antara kedua belah pihak, asalkan sesuai dengan harga unta.
Hambali berkata: Untuk sapi dan kambing ada ukurannya, yaitu 100 sapi dan 1000 kambing.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang apabila terjadi pem­bunuhan di tanah al-Haram, atau korban adalah muhrimnya, terjadi pembunuhan pada bulan Haram, atau pembunuhan yang dilakukan oleh muhrimnya, apakah dalam pembunuhan-pembunuhan tersebut diyat diperberat?
Hanafi berkata: tidak diperberat diyat lantaran pembunuhan-pem­bunuhan tersebut. Namun, dikenakan lama dengan diyat yang lain. Maliki berkata: Diyat harus diperberat jika pembunuhan itu dila­kukan oleh ayah terhadap anaknya. Diyat yang diberatkan itu ialah diyat yang terdiri atas tiga jenis unta, yaitu 30 hiqqah + 30 jadz’ah + 40 hiqqah.
Dalam lial diyat yang berupa emas dan perak, dari Maliki diper­oleh dua riwayat, dan pendapatnya yang masyhur: Untuk dua jenis diyat itu tidak bisa diperberat. Pendapat lainnya menyatakan: Dapat diberatkan. Sedangkan sifat pemberatannya, dari Maliki diperoleh dua riwayat. Pendapat yang paling masyhur menyatakan: Dengan cara membayar harga unta yang dipakai untuk membayar diyat yang diper­berat itu.
Menurut pendapat Syafi`i: Diperberat diyat pembunuhan yang di­lakukan di tanah al-Haram, yang dilakukan muhrimnya, atau yang di­lakukan pada bulan Haram.
Apakah diperberat pembunuhan yang dilakukan ketika haram? Syafi'i dalam hal ini mempunyai dua pendapat, dan yang lebih kuat: Tidak diperberat, dan tidak ada pemberatan kecuali berupa unta. Adapun, tentang emas dan perak, keduanya tidak masuk ke dalam pem­beratan. Sifat pemberatan itu berkaitan dengan umur unta. saja, yaitu ditambah dari diyat biasa. Demikian menurut pendapat. Syafi'i.
Menurut pendapat Hambali: Diperberat diyat pada setiap pembu­nuhan tersebut. Sifat pemberatannya adalah jika pemberatan itu berupa emas dan perak, maka ditambah beratnya melebihi diyat yang biasa. Sedangkan jika berupa unta, maka harus ditambah jumlahnya.
Syafi'i dan Hambali berbeda pendapat apakah diyat dapat dijadi­kan satu? Seperti pembunuhan yang terjadi di tanah al-Haram, pada bulan Haram, dan korban adalah muhrimnya sendiri.
Menurut pendapat Syafi'i: Harus diperberat diyat-nya, tetapi hanya satu diyat. Adapun menurut Hambali; Masing-masing kejahatan tersebut dikenai 1/3 diyat.
Para imam mazhab sepakat bahwa melukai anggota badan yang dapat diambil qivw wajib dituntut qisas. Melukai anggota badan yang tidak dapat diambil qi5as tidak ada qisay. pelukaan itu ada 10 macam, yaitu:
1.    al-kharisah, yaitu pelukaan yang membelah kulit;
2.    ad-damiyah, yaitu pelukaan yang mengeluarkan darah saja;
3.    al-badhi’ah, yaitu pelukaan yang membelah daging;
4.    al-mulalahnnah, yaitu pelukaan yang masuk ke dalam daging;
5.    as-samhaq, yaitu pelukaan yang hampir mengenai tulang.
Kelima macam pelukaan ini, diyat-nya tidak ada yang ditentukan oleh syara'. Demikian menurut kesepakatan pendapat pars imam maz­hab. Namun, Hambali meriwayatkan bahwa Zaid r.a. pernah menghukum diyat karena pelukaan yang mengeluarkan darah saja dengan membayar seekor unta. Diyat pelukaan yang mcmbelah daging adalah membayar 2 unta. Diyat pelukaan yang masuk ke dalam daging adalah membayar 3 unta. Diyat pelukaan yang hampir mengenai tulang ada­lah membayar 4 unta.
Hambali berkata: Kami berpendapat demikian juga, demikian menurut satu riwayat. Sedangkan dalam riwayat lainnya, pendapat Hambali saina dengan pendapat pars imam mazhab lainnya.
. Para imam mazhab sepakat bahwa dalam lima macam pelukaan tersebut pelaksanaan pembayaran diyat-nya dilakukan setelah lukanya sembuh.
Adapun, lima macam pelukaan lagi ditentukan diyatnya oleh syara', yaitu:
6.    al-maudhiliah, yaitu pelukaan yang hingga terlihat tulang. Yaitu, jika hal itu terjadi pada wajah, maka diyal-nya adalah 5 unta. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi'i, clan Hambali dalam salah satu riwayatnya. Dalam riwayat lain Hambali menyatakan: 10 unta.
Maliki berkata: Untuk pelukaan sampai menampakkan tulang pada hiclung clan dagu bagian bawah ada ketentuan diyat khusus. Sedangkan untuk tempat lain di wajah diyat-nya adalah 5 ekor unta.
Apabila terjadi pelukaan pada kepala, apakah itu termasuk pelukaan yang memperlihatkan tulang pada wajah? Menurut pendapat Hanafi, Maliki, clan Syafi'i: Termasuk.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat ketiga imam mazhab di atas. Kedua, jika pada wajah diyal-nya adalah 10 ekor unta. Sedangkan jika pada kepala diyat-nya adalah 5 ekor unta.
Para imam mazhab sepakat bahwa pelukaan yang memperlihat­kan tulang clan dilakukan dengan sengaja pelakunya dikenai tuntutan qisas.
Selanjutnya, pelukaan yang ada ketentuan diyat-nya menurut syara', yaitu:
7.    al-hasyimah, yaitu pelukaan yang mematahkan atau memecahkan tulang. Diyat-nya adalah 10 ekor unta. Demikian menurut penda­pat Hanafi,,Syafi'i, dan Hambali. Sedangkan dari Maliki diper­oleh beberapa riwayat yang berbeda-beda.
Menurut suatu riwayat, dikatakan 5 ekor unta dan penaksiran, Riwayat lain menyebukan 10 ekor unta. Menurut riwayat para ulama, pengikut Maliki adalah 10 ekor unta sebagaiinana pendapat jamaah di atas.
8.         al-manqilah, yaitu pelukaan yang menyebabkan terlihat tulang, mematahkan serta memindahkannya dari tempatnya. Diyat-nya adalah 15 ekor unta. Demikian menurut ijma para imam mazhab.
9.         al-ma’mumah, yaitu pelukaan menembus permukaan otak. Diyaltnya adalah 1/3 diyat biasa. Demikian menurut kesepakatan para imam mazhab.
10.     al-ja’ifah, yaitu pelukaan yang mengenai perut, dada, atau lambung. Diyat-nya adalah 1/3 diyat biasa. Demikian menurut kesepakatan para imam mazhab.
Para imam mazhab sepakat bahwa qisas mata harus dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, clan gigi dengan gigi. Diyat dua mata adalah diyat yang sempurna, yaitu 100 ekor unta. Hidung yang dipotong diyatnya 100 ekor unta. Demikian juga lidah diyatnya adalah 100 ekor unta, dua bibir diyatnya 100 ekor unta, dan seluruh gigi yang berjumlah 32 buah diyatnya 100 ekor unta. Sedang­kan untuk sebuah gigi, diyatnya 5 ekor unta. Untuk dua dagu diyatnya 100 ekor unta. Jika satu dagu, sedangkan yang lainnya masih ada, diyal­nya 50 ekor unta. Pengarang kitab at-Tatimmah dari ulama Syafi`i me­musykilkan tentang wajibnya diyat pads kedua dagu, karena tidak ada hadis yang menerangkan demikian. Sedangkan qiyas tidak dapat di­gunakan dalam hal ini. Melainkan, tulang dagu termasuk tulang bagian dalam sebagaimana tulang dada clan tulang rusuk. Sedangkan dua telinga diyat-nya 100 ekor unta. Demikian menu-rut pendapat Hanafi, Syafi'i, clan Hambali.
Dari Maliki diperoleh dua riwayat. Bertama, seperti pendapat ketiga irnani mazhab di atas. Kedua, ditaksir oleh hakim. Para imam mazhab sepakat bahwa pada empat kelopak mata ada diyat-nya, yaitu diyat yang sempurna (100 ekor unta); masing- masing kelopak diyat-nya 25 ekor unta, kecuali Maliki yang berpendapat harus ditetapkan oleh hakim.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang diyat mata yang tidak dapat; dipakai melihat (buts), Langan yang lumpuh, kemaluan laki-laki
yang impoten, kemaluan laki-laki yang clikebiri, lidah yang kelu (bisu), jari jari yang lebih, dan gigi yang hitam.
Menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi`i yang paling jelas: Dikenai hukuman menurut penaksiran clan keputusan hakim.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. pertama, dikenai diyat. Inilah pendapatnya yang kuat. Kedua, seperti pendapat ketiga imam mazhab lainnya.
Para imam mazhab berbeda pendapat jika pelukaan tersebut pada tulang rusuk, tulang pinggang, tulang hasta, tulang sendi,dan tulang paha. Hanafi, Syafi`i, dan Maliki mengatakan: Hal dernikian dikenai hukumah (ganti rugi menurut penaksiran dan keputusan hakim).
Hambali berkata: jika pelukaan tersebut pada tulang rusuk dan pada pinggang maka dikenai  diyat seekor unta. Sedangkan jika pada lengan kanan, persendian, dua paha dikenai diyat 2 ekor unta, dan dua persendian adalah 4 ekor unta.
Para imam mazhab berbeda pendapat apabila seseorang memu­kul dan melukai orang lain hingga terlihat tulangnya, lalu orang tersebut hilang akal atau gila. Apakah pelukaan tersebut termasuk ke dalam diyat akal ataukah tidak?
Menurut pendapat Hanafi clan salah satu pendapat Syafi`i: la di­kenai diyat akal dan diyat pelukaan. Sedangkan menurut pendapat Syafi`i yang dianggap paling sahih oleh para ulama pengikutnya adalah bahwa orang tersebut dikenai dua diyat, yaitu diyat akal dan diyat pelukaan. Seperti ini juga pendapat Maliki clan Hambali.
Para imam mazhab berbeda, pendapat apabila seseorang mencabut gigi orang lain yang telah berlubang. Hanafi clan Hambali mengata­kan: Orang tersebut tidak dikenai suatu beban apa pun.
Maliki berkata: Wajib pertanggungan, dan tidak gugur kewajiban itu meskipun gigi tersebut dikembalikan.
Syafi`i mempunyai dua pendapat, dan menurut pendapatnya yang paling sahih adalah j wa ib pertanggungan, dan tidak menjadi gugur  meskipun dikembalikan.
Apabila seseorang memukul gigi orang lain, lalu gigi itu berubah menjadi hitam (karena sakit) maka ia wajib membayar diyat gigi, yaitu 5 ekor unta. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan salah satu pendapat Hambali. Sedangkan menurut pendapat lainnya, Hambali menyatakan: 1/3 diyat gigi. Maliki memberi tambahan, yaitu jika gigi menjadi hitam setelah pemukulan *tersebut maka dikenai diyat lagi.
Menurut pendapat Syafi`i: Dalam perkara tersebut hanya dikenai hukumah (ganti rugi menurut penaksiran dan keputusan hakim).
Para imam mazhab berbeda pendapat apabila seseorang memotong lidah anak kecil yang belum dapat berbicara. Hanafi berkata: la hanya dikenai hukumah.
Maliki, Syafi`i dan Hambali mengatakan: Dikenai diyat yang sem­purna-100 ekor unta.
Apabila seseorang mencungkil mata yang asalnya memang buta maka ia wajib membayar diyat yang sempurna (100 ekor unta). Demiki­an menurut pendapat Maliki dan Hambali.
Menurut pendapat Hanafi dan Syafi`i: Orang tersebut wajib mem­bayar 1/2diyal—yaitu 50 ekor unta.
Apabila seseorang mencungkil mata, yang sebelah buta dan yang sebelah lagi masih dapat melihat, dan dilakukan dengan sengaja, maka ia dikenai qisas. Sedangkan jika dimaafkan, maka ia membayar  diyat.
Menurut pendapat Maliki: Orang tersebut tidak berhak qisas. Apa­kah ia wajib membayar separuh diyat atau diyat sempurna? Dari Maliki diperoleh dua riwayat.
Menurut pendapat Hambali: Tidak di-qisas, tetapi diwajibkan mem­bayar diyat yang sempurna.
Para imam mazhab sepakat bahwa kedua tangan dikenai diyal 100 ekor unta, Sedangkan jika satu tangan dikenai separuh diyat sempurna (50 ekor unta). Demikian pula hadnya dengan kedua kaki.
Para imam mazhab sepakat bahwa hilangnya pendengaran yang disebabkan pelukaan orang lain menyebabkan pembayaran diyat.
Apabila seseorang memukul orang lain lalu hilang janggutnya dan tidak tumbuh kembali, hilang rambut kepalanya, hilang bulu alisnya, atau bulu matanya dan tidak tumbuh lagi, maka ia dikenai diyat. Demi­kian menurut pendapat Hanafi dan Hambali.
Menurut pendapat Maliki dan Syafi`i: Hanya dikenai hukumah.
Para imam mazhab sepakat bahwa diyat orang perempuan yang merdeka dan Muslimah terliadapjiwanya adalah separuh diyat laki-laki Muslim yang merdeka. Kemudian, para. imam mazhab berbeda pendapat, apakah sama dengan laki-laki dalam had pelukaan? Menurut pendapat Hanafi dan pendapat Syafi`i dalam qaul jadid-nya: Tidak sama. Diyat pelukaannya separuh dari diyal pelukaan laki-laki, balk sedikit maupun banyak.
            Menurut pendapat Maliki, pendapat Syafi`i dalam qaul qadim-nya. dan Hambali dalam salah situ riwayatnya: Sama dengan diyat laki-laki dalam diyat-diyat yang kurang dari sepertiga. Sedangkan jika lebih dari sepertiga maka dihitung separuh dari diyat laki-laki.
Adapun menurut pendapat Hambali dalam riwayat lainnya: Diyat perempuan menyamai diyat laki-laki sehingga sepertiga diyat, dan jika lebih maka dihitung separuhnya. Demikian pendapat Hambali yang dipilih oleh al-Khiraqi.
Apabila seorang suami menyetubuhi istrinya, padahal istrinya belum pantas untuk disetubuhi, karena masih kecil misalnya, lalu rusaklah kemaluannya, maka suami tersebut tidak dikenai kewajiban apa pun. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali. Syafi`i berkata: Dikenai diyat.
Dari Maliki diperoleh dua riwayat, dan pendapatnya yang paling masyhur menyatakan bahwa suami dikenai kewajiban membayar ke­rugian. Pendapat lainnya: Dikenai diyal.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang diyat ahli kitab, se­perti Yahudi dan Nashrani. Menurut pendapat Hanafi: Diyat-nya ada­lah seperti diyat orang Islam, baik dalam keadaan disengaja maupun tidak, tidak ada perbedaan.
Menurut pendapat Maliki: Diyat-nya adalah separuh dari diyat orang Islam, baik disengaja maupun tidak.
Menurut pendapat Syafi'i: sepertiga dari diyat orang Islam.
Adapun, menurut pendapat Hambali: jika orang Yahudi dan Nash-rani tersebut mempunyai perjanjian keamanan dengan orang Islam lalu dibunuh oleh orang Islam dengan sengaja, maka diyat-nya adalah seperti diyat orang Islam. Sedangkan jika melakukannya tidak sengaja maka Hambali mempunyai dua pendapat. Pertama, diyat-nya separuh dari diyat orang Islam. Pendapat ini yang dipilih oleh al-Khiraqi. Kedua, diyat-nya adalah sepertiga diyat orang Islam.
Diyat orang Majusyi seperti diyat orang Islam, baik melakukannya dengan sengaja maupun tidak. Demikian menurut pendapat Hanafi.
Menurut pendapat Maliki dan Syafi'i: Diyat orang Majusi adalah 800 dirham, baik disengaja maupun tidak.
Menurut pendapat Hambali jika disengaja maka diyat-nya adalah 1600 dirham, sedangkan jika tidak disengaja maka diyat-nya adalah 800 dirham.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang diyat perempuan ahli kitab dan Majusi. Menurut pendapat tiga imam, diyat-nya adalah separuh dari diyat orang laki-laki di kalangan mereka, baik dengan sengaja maupun tidak. Sedangkan menurut pendapat Hambali.: jika tidak disengaja maka diyat-nya adalah sepanih dari diyat laki-laki. jika disengaja maka diyatnya adalah seperti diyat orang laki-laki di kalangan mereka. Budak yang melakukan pembunuhan tanpa disengaja, dibolehkan bagi tuannya memilih antara membayar tebusan dan memberikan budak tersebut kepada yang bersangkutan untuk dijual. jika ada ke­lebihan dari harganya sesudah diambil diyat yang menjadi bebannya maka kelebihan dikembalikan kepada tuannya. Demikian menurut pen­dapat Syafi'i.
Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan: Tuannya boleh memi­lih antara memberikan tebusan dan menyerahkan budak tersebut ke­pada wali korban untuk dimiliki, balk harganya melebihi diyal maupun tidak.
Budak yang membunuh dengan sengaja dibolehkan bagi wall korban mengambil qisas, clan boleh memaafkan dengan membayar diyat, tetapi tidak boleh dimiliki dengan sebab perbuatan pidananya. Demi­kian menurut pendapat Syafi'i dan Hanafi.
Maliki dan Hambali mengatakan: Budak tersebut terus menjadi milik wali korban, dan sesudah dimiliki, ia boleh dibunuh, boleh diper­budak, dan boleh Pula dimerdekakan. Namun, dalam hal ini Maliki memberikan syarat, yaitu cukup bukti-bukti yang menunjukkan bahwa budak tersebut telah membunuh. Sedangkan jika hanya pengakuan­nya maka tidak diterima.
Menurut pendapat tiga 'Imam mazhab, orang merdeka jika ka mem­bunuh budak tanpa sengaja, maka diyat-nya ditanggung oleh si pem­bunuh sendiri, bukan oleh ashabah-nya. Sedangkan menurut penda­pat Hanafi: Ditanggung oleh ashabah si pembunuh.
Namun, Syafi'i dalam pendapatnya yang lain mengatakan: Diyat ­tersebut ditanggung oleh ashabah si pembunuh yang tidak disengaja.
Menurut pendapat Hanafi, Syafi`i, dan Hambali: Tindakan-tin­clakan pidana yang mempunyai kadar diyat terhadap orang niel-cleka diukur menurut kadar si budak dengan diyat dari harganya.
Maliki berkata: di bayar kurang dari harga si budak.
Apabila dua orang penunggang kuda bertabrakan, lalu keduanya meninggal, masing-masing kcivarganya dikenai diyat yang sempurna dan diberikan kepada yang lain. Demikian menurut pendapat Maliki dan Hambali.
Dari Hanafi diperoleh beberapa riwayat yang berbeda-beda. Ad­Damaghani berkata: Sesungguhnya dalam masalah ini ada dua riwayat. Pertama, seperti pendapat Maliki dan Hambali tersebut di atas. Kedua, masing-masing keluarganya dikenai separuh diyat yang diberikan ke­pada yang lain. Seperti ini juga pendapat dalam mazhab Syafi`i. Syafi'i berkata: Dari peninggalannya diambil separuh diyat untuk diberikan kepada yang lain. Dalam pendapat yang lain, Syafi'i mengatakan: Ke­duanya tidak dikenai apa-apa, karena keduanya meninggal. Hal ini adalah seperti musibah yang menimpanya, yang ticlak dikehendaki.
Para imam mazhab sepakat bahwa diyat atas pembunuhan yang tidak sengaja dibebankan kepada ashabah si pembunuh, dan wajib dibayar dalam tempo tiga tahun.
Para imam mazhab berbeda pendapat, apakah pembunuh ter­masuk ash abate, lalu boleti membayar diyat bersama-sama mereka? Ha­nafi berkata: Pembunuh adalah seperti seorang ashabah. la harus memikul satu bagian dari yang dipikul oleh ashabah-nya.
Para ulama pengikut Maliki berbeda pendapat dalam masalah ini. Ibn al-Qasim berpendapat seperti pendapat Hanafi. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa pembunuh tidak menanggung tanggungan 'ashabah-nya..
Syafi`i berkata: Pembunuh tidak dikenai kewajiban apa pun jika ashabah-nya mampu membayar diyat. Jika tidak mampu maka pembu­nuh harus menanggung diyat-nya sendiri.
Hambali berkata: Pembunuh tidak dibebani kewajiban apa pun, baik 'ashabah-nya mampu membayar diyat maupun tidak. Dengan de­mikian, apabila semua ashabah-nya. tidak mampu membayar diyat, berpinclahlah kewajiban membayar diyat. tersebut menjadi kewajiban Baitul Mal.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang diyat yang ditang­gung oleh ashabah-nya. Apakah ada ketentuan khusus mengenai be­sarnva, menurut kemampuan atau ditetapkan oleh keputusan hakim?
Hanafi berkata: Disamakan di antara mereka, lalu diambil dari masing-masing mereka sebesar 3 dirham hingga 4 dirham.
Maliki dan Hambali mengatakan: Tidak ditentukan ukurannya, melainkan diserahkan pada kemudahan masing-masing dari mereka, yang tidak memberatan mereka.
Syafi`i berkata: Ditentukan kadarnya yang dibebankan kepada ashabah yang kaya sebesar  dinar, dan yang pertengahan sebesar 1/4 dinar, tidak boleh kurang.
Apakah disamakan dalam menanggung diyat antara ashabah yang miskin dan yang kaya? Hanafi berkata: Sama saja di antara keduanya. Maliki, Syafi`i dan Hambali mengatakan: Yang kaya menanggung lebih banyak daripada yang pertengahan.
Apakah para ashabah yang tidak berada di tempat dikenai juga ke­wajiban diyat, sebagaimana yang hadir? Hanafi dan Hambali mengata­kan: Kedua-duanya sama-sama mempunyai beban membayar diyat.
Maliki berkata: Anggota keluarga yang tidak berada di tempat tidak dibebani kewajiban apa pun, yaitu jika is berada di negeri yang beriklim berbeda dengan.iklim negeri yang ditempati keluarganya.
Darr Syafi`i diperoleh dua pendapat seperti kedua pendapat para imam mazhab tersebut di atas.
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai tertib urutan orang yang memikul beban diyat. Menurut pendapat Hanafi: yang dekat kekerabatannya dan yang jauh sama saja bebannya.
Menurut pendapat Syafi`i dan Hambali: Ditentukan menurut tertib 'ashabah, yaitu yang dekat didahulukan, lalu yang lebih dekat lagi. jika yang dekat saja sudah mencukupi maka yang lainnya tidak dikenai beban apa pun. Sedangkan jika yang dekat belum mencukupi maka barulah dikenakan beban itu kepada kerabat yang jauh. Demikian seterusnya dikenakan kepada yang paling jauh derajatnya menurut aturan pene­rimaan waris.
Mengenai tahun pembayaran, apakah dihitung dari kematian orang yang terbunuh atau dihitung sejak hakim memberikan keputusan? Menurut pendapat Hanafi: Perhitungannya dimulai sejak hakim mem­berikan keputusan.
Menurut pendapat Maliki, Syafi`i dan Hambali: Sejak kematian korban.
Apabila orang yang menanggung kewajiban diyat menanggUngnya selama setahun lalu meninggal, apakah kewajiban tersebut menjadi gugur? Hanafi berkata: Gugur, dan tidak diambilkan dari harta pe­ninggalannya.
Adapun dalam mazhab Maliki, Ibn al-Qasim menyatakan: Tang­gungan itu dikenakan pads hartanya, dan diambilkan dari harta pe­ninggalannya.
Syafi'i dan Hambali dalam salah satu riwayatnya mengatakan: Diambilkan dari harta peninggalannya.
Apabila tembok seseorang miring kejalan atau ke dalam pekarangan orang lain, lalu tembok tersebut roboh mengenai seseorang hingga meninggal, padahal pernah diminta kepada pemilik tembok agar mem­bongkarnya tetapi tidak dikerjakan sedangkan mungkin ia mampu mcngerjakannya, maka ia dimintai pertanggungan atas kematian itu. Sedangkan jika ia memang ticlak memiliki kemampuan untuk mem­bongkarnya maka ia tidak dikenai pertanggungan. Demikiao menurut pendapat Hanafi.
Menurut pendapat Maliki clan Hambali dalam situ riwayatnya: Jika pernah clikemukakan kepada pemilik tembok agar membongkar­nya, tetapi ia tidak mau membongkar, maka ia dikenai pertanggungan. Maliki menambahkan: Ketika mengajukan pembongkaran itu, lien­daknya disaksikan.
Dalam riwayat lain, Maliki menyatakan: Apabila keadaan tembok tersebut sudah sangat mengkhawatirkan, lalu menimpa orang terse-but, maka pemilik tembok dikenai kerugian, bark pernah diminta untuk membongkar maupun tidak.
Menurut pendapat Hambali dalam riwayat yang lain: Orang tersebut ticlak dikenai kerugian sama sekali. Inilah pendapat Hambali yang masyhur.
Menurut pendapat pars ulama mazhab Syafi'i yang paling sahib: Hal demikian tidak menjaclikan pemililuiya dikenai kerugian.
Apabila seseorang mengejutkan seorang anak atau orang yang kurang akal, yang sedang berada di atas atap atau di atas tembok, lalu anak atau orang tersebut jatuh kemudian meninggal, atau seorang pe­nguasa mengirim utusan kepada orang perempuan yang liamil untuk clatang ke sidang pengadilan, karena terkejutnya kegugran kandung­annya lalu meninggal, maka orang yang mengejutkannya ticlak dikenai kewajiban apa pun. Demikian menurut pendapat Hanafi.
Syafi'i berkata: Dikenakan diyal kepada 'ashabah orang yang me­ngejutkan tersebut, kecuali terhadap orang yang sudah balig, maka tidak ada pertanggungan atas ashabah dalam masalah ini.
Ibn Hubairah, seorang ulama pengikut Syafi'i, mengatakan: Di­wajibkan menanggung kerugian.
Maliki berkata: Semua diyat clitanggungkan kepada 'ashabah-nya, kecuali dalam masalah perempuan tersebut. Dalam had in], seseorang ticlak dikenai kewajiban apa pun.
Hambali berkata: Diyat dalam kasus tersebut ditanggungkan ke­pada 'as/whah-nya clan penguasa tersebut.
jika seseorang memukul penit perempuan yang sedang hamil, kemudian perempuan itu meninggal setelah melahirkan janin, maka orang tersebut dikenai diyat atas pemukulan saja dengan diyat. yang sem­purna (100 ekor unta). Sedangkan untuk kematian janinnya, ia tidak dikenai kewajiban apa pun. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki.
Syafi`i dan Hambali berkata: Orang tersebut dikenai.diyat yang sempurna, dan memberikan budak atas kematian janin.
Para imam mazhab berbecla pendapat tenting nilai harga dari budak perempuan jika kandungan itu dimilikinya. Maliki, Syafi`i dan Hambali mengatakan: Nilai harga kandungan budak jika kandungan itu juga dimiliki adalah sepersepuluh harga ibunya yang ditaksir pads hari terjadinya kejahatan atas ibunya, baik kandungan itu berisi janin laki-laki maupun perempuan.
Adapun kandungan ummul walad, diyat-nya adalah seorang budak yang nilai harganya sepeixiva puluh dari diyat ayahnya. Demikian juga kandungan perempuan dzimmi jika ayah dari anak yang dikandung itu seorang Muslim. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi`i clan Hambali.
Hanafi berkata: Terhadap janin laki-laki adalah seperdua puluh harganya, dan terhadap perempuan adalah sepersepuluh harganya.
Apabila seseorang menggali sumur di halaman rumahnya, maka ia dimintai kerugian atas kerusakan apa pun yang disebabkan sumur itu. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi`i, dan Hambali.
Maliki berkata: Tidak dikenai pertanggungan sama sekali.
Apabila seseorang menguruk tanah di sekitar masjid, atau meng­gali sumur untuk kemaslahatan masjid, atau memasang lampu tanpa mendapatkan izin tetangganya, lalu ada orang meninggal disebabkan baring-baring tersebut, maka orang tersebut dapat dikenai pertang­gungan. Demikian menurut pendapat Hanafi.
Syafi`i mempunyai dua pendapat, yaitu mewajibkan pertanggung­an dan tidak mewajibkan pertanggungan.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat, dan pendapatnya yang lebih jelas menyatakan: Tidak dikenai pertanggungan.
tidak ada perbedaan pendapat, bahwa seseorang yang menebarkan kerikil di sekitar rumahnya, lalu tergelincirlah seseorang karenanya, maka ia tidak dikenai pertanggungan apa pun.
jika seseorang membiarkan anjing galak di rumahnya, lalu ada orang lain masuk ke rumah tersebut padahal ia mengetahui bahwa di rumah itu ada anjing galak, lalu ia digigit anjing tersebut, maka pemilik rumah tidak dikenai pertanggungan apa pun. Demikian menurut pen­dapat Hamafi dan Syafi'i.
Maliki berkata: la dikenai pertanggungan dengan syarat'pemilik rumah mengetahui bahwa anjing tersebut adalah anjing galak.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat, dan pendapat yang paling jelas menyatakan: Pemilik rumah tidak dikenai pertanggungan apa pun.

REFERENSI
Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyiqi, Syeikh al-‘Allamah.2010. Fiqih Empat Madzhab. Bandung:Hasyimi.

Komentar

Postingan Populer